Sayuti kini menjadi tulang punggung pembuatan risalah sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) serta rangkuman rapat di Bawaslu dan sekarang dikembangkan menjadi websiteKawal Sidang. Sayuti dibekali kosakata dari kamus bahasa Indonesia paling lengkap, serapan bahasa daerah, termasuk istilah baru.
M. HILMI SETIAWAN, JAKARTA
---
ABDULLAH Aufa Fuad sama sekali tidak menyangka posting-an reels di akun Instagram-nya bakal membuka jalan untuk Sayuti. Sebuah sistem kecerdasan buatan yang dia buat.
Ceritanya, saat itu ada seniornya di Universitas Airlangga (Unair) yang tertarik dengan Sayuti. Aufa lantas menjelaskan keunggulan sistem kecerdasan buatan yang dia kembangkan sejak 2018 itu. ”Termasuk juga pada 2019 digunakan untuk menganalisis debat capres. Saat itu kerja sama dengan Jawa Pos,” kata pria kelahiran Sidoarjo, 32 tahun lalu, itu saat ditemui di Jakarta pada Jumat (21/7) dua pekan lalu.
Selanjutnya, seniornya tersebut menawarkan supaya Sayuti digunakan untuk membantu pembuatan risalah persidangan di MK. Keduanya pun sepakat. Jadilah akhirnya pemanfaatan Sayuti semakin dikenal. Sampai akhirnya digunakan juga untuk pembuatan risalah atau rangkuman rapat di Bawaslu.
Sayuti dia rintis sejak 2018, dengan nama Speaktograph Digital Indonesia. Pada saat itu mantan staf kajian strategis di Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia PWNU Jawa Timur tersebut mengembangkan kecerdasan buatan untuk voice recognition. Fungsinya menganalisis suara sehingga bisa ditampilkan jadi teks.
Kecerdasan buatan itu juga untuk emotion recognition. Dengan kemampuan pengenalan ekspresi wajah serta analisis mimik seseorang, Speaktograph buatan mantan wakil ketua PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Lyon, Prancis, tersebut bisa digunakan untuk menganalisis seseorang itu sedang marah, pesimistis, sedih, bahagia, dan ekspresi lainnya.
Aufa tidak berhenti pada Speaktograph itu saja. Dia lantas mengembangkan kecerdasan buatan karyanya tersebut untuk berbagai jenis kegunaan lainnya. ”Supaya tidak hanya digunakan untuk debat presiden. Tetapi bisa diterima market lebih luas,” jelas pria yang berkuliah S-2 di bidang nanoteknologi di Universite de Lyon tersebut.
Pengembangan sistem kecerdasan buatan itu akhirnya keluar dengan nama Sayuti. Nama tersebut bukan singkatan atau akronim. Melainkan terinspirasi dari sosok Sayuti Melik, sosok pengetik naskah proklamasi Indonesia.
Secara sederhana, Sayuti memiliki kemampuan seperti Google Text: mengubah suara menjadi sebuah teks. ”Tetapi, bisa diadu antara Sayuti dan Google Text. Sayuti lebih banyak keunggulannya,” ungkap dia.
Keunggulan yang menurut dia sangat penting adalah kekayaan kosakata. Sayuti sudah dibekali dengan kosakata dari kamus bahasa Indonesia paling lengkap. Bahkan ditambah juga kosakata dari serapan bahasa daerah. Lalu dimasukkan juga istilah-istilah baru, bahasa slang, juga kamus rima. ”Mungkin Google Text tidak ada bahasa baru atau bahasa rima,” katanya.
Aufa mencontohkan kata-kata yang bisa membuat Google Text salah ketik. Di antaranya adalah kata abad. Bisa jadi Google Text akan mengeluarkan kata abjad, bukan abad. Aufa mengatakan, sistem kecerdasan buatan Sayuti bahkan bisa di-setting sejak awal sehingga kata-kata yang akan muncul bisa disesuaikan.
Dengan kemampuan dan keunggulan tersebut, Sayuti akhirnya secara resmi digunakan untuk penyusunan risalah persidangan di MK, tepatnya sejak 2022. ”Jadi, dulu setiap sidang membutuhkan 20 orang untuk membuat risalah yang cepat di MK. Mereka bekerja seperti juru ketik atau transkrip seluruh percakapan dalam persidangan,” katanya.
Dengan Sayuti, saat ini setiap persidangan di MK hanya membutuhkan lima orang perisalah. Mereka tugasnya lebih sebagai editor, memeriksa kalau mungkin ada kata-kata atau paragraf yang kurang tepat hasil dari pembacaan suara oleh Sayuti. Dengan demikian, pendayagunaan aparatur di MK bisa lebih efisien.
Aufa mengatakan, sejak menggunakan Sayuti pula, risalah sidang MK yang bisa diakses masyarakat dilengkapi dengan keterangan menit dan detiknya. Termasuk siapa yang berbicara. Dia menambahkan, pada dasarnya seluruh persidangan di MK bersifat terbuka. Sehingga risalah persidangannya juga bisa diakses oleh masyarakat luas.
Sedangkan penggunaan Sayuti di Bawaslu tipologinya agak berbeda. Tim yang mengoperasikannya cenderung ingin mendapatkan rangkuman atau summary rapat. Kemampuan menghadirkan rangkuman ini menjadi keunggulan lain Sayuti dibandingkan Google Text atau aplikasi sejenis.
Aufa bersama timnya tak lantas berpuas diri. Sayuti yang berbasis website mereka kembangkan lagi menjadi websiteKawal Sidang (kawalsidang.id). Cara kerja Kawal Sidang ini mirip seperti ChatGPT yang sama-sama berbasis kecerdasan buatan.
Pengguna internet cukup masuk ke website Kawal Sidang, kemudian bisa mengetikkan segala pertanyaan terkait hukum. ”Bedanya kalau di ChatGPT wajib login. Di Kawal Sidang tidak perlu login, jadi privasi lebih terjaga,” tuturnya.
Hal lain yang membedakan Kawal Sidang dengan ChatGPT adalah jawaban-jawaban yang muncul adalah jawaban-jawaban dari sistem Sayuti yang sudah diberi asupan artikel-artikel hukum. Selain itu, juga sudah diberikan pengetahuan risalah sidang MK hingga peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang terbit di Indonesia. ”Jadi, kalau ditanya balik landasan hukumnya, Kawal Sidang bisa menjawabnya,” kata dia.
Sampai naskah ini ditulis kemarin (31/7), di dalam Kawal Sidang sudah ada 1.060 dokumen hukum. Kemudian sistem kecerdasan buatan di Kawal Sidang sudah menjawab 552 pertanyaan dari 173 pengguna.
Aufa menjelaskan, ada enam orang yang terlibat dalam pembuatan Kawal Sidang tersebut. Lima di antaranya sebagai editor yang bertugas membuat naskah atau artikel, sebagai asupan bahan belajar si Sayuti. Salah satu anggota tim editor itu adalah Rafly Ramadhan.
Rafly menyebut artikel yang dimasukkan benar-benar dibuat secara manual oleh setiap editor. ”Kalau saya lebih konsentrasi di isu-isu perlindungan konsumen,” kata Rafly yang tiap hari menulis sekitar 30 artikel terkait hukum.
Setiap editor memiliki pos atau isu-isu tertentu. ”Sehingga tidak saling tabrakan atau terjadi dobel artikel dengan isu yang sama,” ujarnya.